BAGAIMANAKAH MEKANISME KERJA OBAT ???
Obat ialah suatu bahan
atau paduan bahan-bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menetapkan
diagnosis, mencegah, mengurangkan, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau
gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau
hewan dan untuk memperelok atau memperindah badan atau bagian badan manusia
termasuk obat tradisional.
Obat menghasilkan kerja dengan mengubah cairan tubuh atau membran sel atau
dengan beinteraksi dengan tempat reseptor. Jel aluminium hidroksida obat
mengubah zat kimia suatu cairan tubuh (khususnya dengan menetralisasi kadar
asam lambung). Obat-obatan, misalnya gas anestsi mum, beinteraksi dengan
membran sel. Setelah sifat sel berubah, obat mengeluarkan pengaruhnya.
Mekanisme kerja obat yang paling umum ialah terikat pada tempat reseptor
sel. Reseptor melokalisasi efek obat. Tempat reseptor berinteraksi dengan obat
karena memiliki bentuk kimia yang sama. Obat dan reseptor saling berikatan
seperti gembok dan kuncinya. Ketika obat dan reseptor saling berikatan, efek
terapeutik dirasakan. Setiap jaringan atau sel dalam tubuh memiliki kelompok
reseptor yang unik. Misalnya, reseptor pada sel jantung berespons
pada preparat digitalis.
Suatu obat yang diminum per oral akan melalui tiga fase: farmasetik
(disolusi), farmakokinetik, dan farmakodinamik, agar kerja obat
dapat terjadi.
Dalam fase farmasetik, obat berubah menjadi larutan sehingga dapat menembus
membrane biologis. Jika obat diberikan melaluirute subkutan, intramuscular,
atau intravena, maka tidak terjadi fase farmaseutik.
Fase kedua, yaitu farmakokinetik, terdiri dari empat proses (subfase): absorpsi, distribusi, metabolisme (atau
biotransformasi), dan ekskresi.
Dalam fase farmakodinamik, atau fase ketiga, terjadi respons biologis atau
fisiologis.
A. Fase Farmasetik
(Disolusi)
Sekitar 80% obat diberikan melaui mulut; oleh karena itu, farmasetik (disolusi) adalah fase pertama dari kerja
obat. Dalam saluran gastrointestinal, obat-obat perlu dilarutkan agar dapat
diabsorsi. Obat dalam bentuk padat (tablet atau pil) harus didisintegrasi
menjadi partikel-partikel kecil supaya dapat larut ke dalam cairan, dan proses
ini dikenal sebagai disolusi.
Tidak 100% dari sebuah tablet merupakan obat. Ada bahan pengisi dan
pelembam yang dicampurkan dalam pembuatan obat sehingga obat dapat mempunyai
ukuran tertentu dan mempercepat disolusi obat tersebut. Beberapa tambahan dalam
obat sperti ion kalium (K)dan natrium (Na)dalam kalium penisilin dan natrium
penisilin, meningkatkan penyerapan dari obat tersebut. Penisilin sangat buruk
diabsorbsi dalam saluran gastrointestinal, karena adanya asam lambung. Dengan
penambahan kalium atau natrium ke dalam penisilin, maka obat lebih banyak
diabsorbsi.
Disintegrasi adalah pemecahan tablet atau pil menjadi partikel-partikel
yang lebih kecil, dan disolusi adalah melarutnya partikel-partikel yang lebih
kecil itu dalam cairan gastrointestinal untuk diabsorbsi.
Rate limiting adalah waktu yang dibutuhkan oleh sebuah obat untuk
berdisintegrasi dan sampai menjadi siap untuk diabsorbsi oleh tubuh. Obat-obat
dalam bentuk cair lebih cepat siap diserap oleh saluran gastrointestinal
daripada obat dalam bentuk padat. Pada umumnya, obat-obat berdisintegrasi lebih
cepat dan diabsorpsi lebih cepat dalam cairan asam yang mempunyai pH 1 atau 2
daripada cairan basa. Orang muda dan tua mempunyai keasaman lambung yang lebih
rendah sehingga pada umumnya absorpsi obat lebih lambat untuk obat-obat yang
diabsorpsi terutama melalui lambung.
Obat-obat dengan enteric-coated,EC (selaput enterik) tidak dapat
disintegrasi oleh asam lambung, sehingga disintegrasinya baru terjadi jika
berada dalam suasana basa di dalam usus halus. Tablet anti coated dapat
bertahan di dalam lambung untuk jangka waktu lama; sehingga, oleh karenanya
obat-obat demikian kurang efektif atau efek mulanya menjadi lambat.
Makanan dalam saluran gastrointestinal dapat menggaggu pengenceran dan
absorpsi obat-obat tertentu. Beberapa obat mengiritasi mukosa lambung, sehingga
cairan atau makanan diperluan untuk mengencerkan konsentrasi obat.
B. Fase
Farmakokinetik
Farmakokinetik adalah ilmu tentang cara obat masuk ke dalam tubuh, mencapai
tempat kerjanya, dimetabolisme, dan keluar dari tubuh. Dokter dan perawat
menggunakan pengetahuan farmakokinetiknya ketika memberikan obat, memilih rute
pemberian obat, menilai resiko perubahan keja obat, dan mengobservasi respons
klien.
Empat proses yang termasuk di dalamnya adalah : absorpsi, distribusi,
metabolism (biotransformasi), dan ekskresi(eliminasi).
1.
Absorpsi
Absorpsi adalah pergerakan partikel-partikel obat dari konsentrasi tinggi
dari saluran gastrointestinal ke dalam cairan tubuh melalui absorpsipasif,
absorpsi aktif, rinositosis atau pinositosis.
Absorpsi aktif umumnya terjadi melalui difusi(pergerakan dari konsentrasi
tinggi ke konsentrasi rendah). Absorpsi aktif membutuhkan carier atau pembawa
untuk bergerak melawan konsentrasi. Pinositosis berarti membawa obat menembus
membran dengan proses menelan.
Absorpsi obat dipengaruhi oleh aliran darah, nyeri, stress, kelaparan,
makanan dan pH. Sirkulasi yang buruk akibat syok, obat-obat vasokonstriktor,
atau penyakit yang merintangi absorpsi. Rasa nyeri, stress, dan makanan
yang padat, pedas, dan berlemak dapat memperlambat masa pengosongan lambung,
sehingga obat lebih lama berada di dalam lambung. Latihan dapat mengurangi
aliran darah dengan mengalihkan darah lebih banyak mengalir ke otot, sehingga
menurunkan sirkulasi ke saluran gastrointestinal.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi absorpsi obat antara lain rute
pemberian obat, daya larut obat, dan kondisi di tempat absorpsi.
Setiap rute pemberian obat memiliki pengaruh yang berbeda pada absorpsi
obat, bergantung pada struktur fisik jaringan. Kulit relatif tidak dapat
ditembus zat kimia, sehingga absorpsi menjadi lambat. Membran mukosa dan
saluran nafas mempercepat absorpsi akibat vaskularitas yang tinggi pada mukosa
dan permukaan kapiler-alveolar. Karena obat yang diberikan per oral harus
melewati sistem pencernaan untuk diabsorpsi, kecepatan absorpsi secara
keseluruhan melambat. Injeksi intravena menghasilkan absorpsi yang paling cepat
karena dengan rute ini obat dengan cepat masuk ke dalam sirkulasi sistemik.
Daya larut obat diberikan per oral setelah diingesti sangat bergantung pada
bentuk atau preparat obat tersebut. Larutan atau suspensi, yang tersedia dalam
bentuk cair, lebih mudah diabsorpsi daripada bentuk tablet atau kapsul. Bentuk
dosis padat harus dipecah terlebih dahulu untuk memajankan zat kimia pada
sekresi lambung dan usus halus. Obat yang asam melewati mukosa lambung dengan
cepat. Obat yang bersifat basa tidak terabsorpsi sebelum mencapai usus halus.
Kondisi di tempat absorpsi mempengaruhi kemudahan obat masuk ke dalam
sirkulasi sistemik. Apabila kulit tergoles, obat topikal lebih mudah
diabsorpsi. Obat topikal yang biasanya diprogamkan untuk memperoleh efek lokal
dapat menimbulkan reaksi yang serius ketika diabsorpsi melalui lapisan kulit.
Adanya edema pada membran mukosa memperlambat absorpsi obat karena obat
membutuhkan waktu yang lama untuk berdifusi ke dalam pembuluh darah. Absorpsi
obat parenteral yang diberikan bergantung pada suplai darah dalam
jaringan.Sebelum memberikan sebuah obat melalui injeksi, perawat harus mengkaji
adanya faktor lokal, misalnya; edema, memar, atau jaringan perut bekas luka,
yang dapat menurunkan absorpsi obat. Karena otot memiliki suplai darah yang
lebih banyak daripada jaringan subkutan (SC), obat yang diberikan per
intramuskular (melalui otot) diabsorpsi lebih cepat daripada obat yang
disuntikan per subkutan. Pada beberapa kasus, absorpsi subkutan yang lambat
lebih dipilih karena menghasilkan efek yang dapat bertahan lama. Apabila perfusi
jaringan klien buruk, misalnya pada kasus syok sirkulasi, rute pemberian obat
yang terbaik ialah melalui intravena. Pemberian obat intravena menghasilkan
absorpsi yang paling cepat dan dapat diandalkan.
Obat oral lebih mudah diabsorpsi, jika diberikan diantara waktu makan. Saat
lambung terisi makanan, isi lambung secara perlahan diangkut ke duodenum,
sehingga absorpsi melambat. Beberapa makanan dan antasida membuat obat
berikatan membentuk kompleks yang tidak dapat melewati lapisan saluran cerna.
Contoh, susu menghambat absorpsi zat besi dan tetrasiklin. Beberapa obat hancur
akibat peningkatan keasaman isi lambung dan pencernaan protein selama makan.
Selubung enterik pada tablet tertentu tidak larut dalam getah lambung, sehingga
obat tidak dapat dicerna di dalam saluran cerna bagian atas. Selubung juga
melindungi lapisan lambung dari iritasi obat.
Rute pemberian obat diprogramkan oleh pemberi perawatan kesehatan. Perawat dapat meminta obat diberikan dalam cara atau bentuk yang berbeda, berdasarkan pengkajian fisik klien. Contoh, bila klien tidak dapat menelan tablet maka perawat akan meminta obat dalam bentuk eliksir atau sirup. Pengetahuan tentang faktor yang dapat mengubah atau menurunkan absorpsi obat membantu perawat melakukan pemberian obat dengan benar. Makanan di dalam saluran cerna dapat mempengaruhi pH, motilitas, dan pengangkuan obat ke dalam saluran cerna. Kecepatan dan luas absorpsi juga dapat dipengaruhi oleh makanan. Perawat harus mengetahui implikasi keperawatan untuk setiap obat yang diberikan.
Contohnya, obat seperti aspirin, zat besi, dan fenitoin, natrium (Dilantin) mengiritasi saluran cerna dan harus diberikan bersama makanan atau segera setelah makan. Bagaimanapun makanan dapat mempengaruhi absorpsi obat, misalnya kloksasilin natrium dan penisilin. Oleh karena itu, obat-obatan tersebut harus diberikan satu sampai dua jam sebelum makan atau dua sampai tiga jam setelah makan. Sebelum memberikan obat, perawat harus memeriksa buku obat keperawatan, informasi obat, atau berkonsultasi dengan apoteker rumah sakit mengenai interaksi obat dan nutrien.
2. Distribusi
Rute pemberian obat diprogramkan oleh pemberi perawatan kesehatan. Perawat dapat meminta obat diberikan dalam cara atau bentuk yang berbeda, berdasarkan pengkajian fisik klien. Contoh, bila klien tidak dapat menelan tablet maka perawat akan meminta obat dalam bentuk eliksir atau sirup. Pengetahuan tentang faktor yang dapat mengubah atau menurunkan absorpsi obat membantu perawat melakukan pemberian obat dengan benar. Makanan di dalam saluran cerna dapat mempengaruhi pH, motilitas, dan pengangkuan obat ke dalam saluran cerna. Kecepatan dan luas absorpsi juga dapat dipengaruhi oleh makanan. Perawat harus mengetahui implikasi keperawatan untuk setiap obat yang diberikan.
Contohnya, obat seperti aspirin, zat besi, dan fenitoin, natrium (Dilantin) mengiritasi saluran cerna dan harus diberikan bersama makanan atau segera setelah makan. Bagaimanapun makanan dapat mempengaruhi absorpsi obat, misalnya kloksasilin natrium dan penisilin. Oleh karena itu, obat-obatan tersebut harus diberikan satu sampai dua jam sebelum makan atau dua sampai tiga jam setelah makan. Sebelum memberikan obat, perawat harus memeriksa buku obat keperawatan, informasi obat, atau berkonsultasi dengan apoteker rumah sakit mengenai interaksi obat dan nutrien.
2. Distribusi
Distribusi adalah proses di mana obat menjadi berada dalam cairan tubuh dan
jaringan tubuh. Distribusi obat dipengaruhi oleh aliran darah (dinamika
sirkulasi), afinitas (kekuatan penggabungan) terhadap jaringan, berat dan
komposisi badan, dan efek pengikatan dengan protein.
a.
Dinamika Sirkulasi
Obat lebih mudah keluar dari ruang interstial ke dalam ruang intravaskuler
daripada di antara kompartemen tubuh. Pembuluh darah dapat ditembus oleh
kebanyakan zat yang dapat larut, kecuali oleh partikel obat yang besar atau
berikatan dengan protein serum. Konsentrasi sebuah obat pada sebuah tempat
tertentu bergantung pada jumlah pembuluh darah dalam jaringan, tingkat
vasodilasi atau vasokonstriksi lokal, dan kecepatan aliran darah ke sebuah
jaringan. Latihan fisik, udara yang hangat, dan badan yang menggigil mengubah
sirkulasi lokal. Contoh, jika klien melakukan kompres hangat pada tempat
suntikan intramuskular, akan terjadi vasodilatasi yang meningkatkan distribusi
obat.
Membran biologis berfungsi sebagai barier terhadap perjalanan obat. Barier
darah-otak hanya dapat ditembus oleh obat larut lemak yang masuk ke dalam otak
dan cairan serebrospinal. Infeksi sistem saraf pusat perlu ditangani dengan
antibiotik yang langsung disuntikkan ke ruang subaraknoid di medula spinalis.
Klien lansia dapat menderita efek samping (misalnya konfusi) akibat perubahan
permeabilitas barier darah-otak karena masuknya obat larut lemak ke dalam otak
lebih mudah. Membran plasenta merupakan barier yang tidak selektif terhadap
obat. Agens yang larut dalam lemak dan tidak larut dalam lemak dapat menembus
plasenta dan membuat janin mengalami deformitas (kelainan bentuk), depresi
pernafasan, dan pada kasus penyalahgunaan narkotik, gejala putus zat. Wanita
perlu mengetahui bahaya penggunaan obat selama masa hamil.
b.
Berat dan Komposisi Badan
Ada hubungan langsung antara jumlah obat yang diberikan dan jumlah jaringan
tubuh tempat obat didistribusikan. Kebanyakan obat diberikan berdasarkan berat
dan komposisi tubuh dewasa. Perubahan komposisi tubuh dapat mempengaruhi
distribusi obat secara bermakna. Contoh tentang hal ini dapat ditemukan pada
klien lansia. Karena penuaan, jumlah cairan tubuh berkurang, sehingga obat yang
dapat larut dalam air tidak didistribusikan dengan baik dan konsentrasinya
meningkat di dalam darah klien lansia. Peningkatan persentase leak tubuh secara
umum ditemukan pada klien lansia, membuat kerja obat menjadi lebih lama karena
distribusi obat di dalam tubuh lebih lambat. Semakin kecil berat badan klien,
semakin besar konsentrasi obat di dalam cairan tubuhnya, dan dan efek obat yang
dihasilkan makin kuat. Lansia mengalami penurunan massa jaringan tubuh dan
tinggi badan dan seringkali memerlukan dosis obat yang lebih rendah daripada
klien yang lebih muda
c. ikatan Protein
Ketika obat didistribusikan di dalam plasma kebanyakan berikatan dengan
protein (terutama albumin). Dalam derajat (persentase) yang berbeda-beda. Salah
satu contoh obat yang berikatan tinggi dengan protein adalah diazeipam (valium)
yaitu 98% berikatan dengan protein. Aspirin 49% berikatan dengan protein dan
termasuk obat yang berikatan sedang dengan protein. Bagian obat yang berikatan
bersifat inaktif,dan bagian obat selebihnya yanhg tidak berikatan dapat bekerja
bebas. Hanya obat-obat yang bebas atau yang tidak berikatan dengan proteinyang
bersifat aktif dan dapat menimbulkan respon farmakologik.
Kadar protein yang rendah menurunkan jumlah tempat pengikatan dengan
protein, sehingga meningkatkan jumlah obat bebas dalam plasma. Dengan demikian
dalam hal ini dapat terjadi kelebihan dosis, karena dosis obat yang diresepkan
dibuat berdasarkan persentase di mana obat itu berikatan dengan protein.
Seorang perawat juga harus memeriksa kadar protein plasma dan albumin
plasma klien karena penurunan protein (albumin) plasma akan menurunkan tempat
pengikatan dengan protein sehingga memungkinkan lebih banyak obat bebas dalam
sirkulasi. Tergantung dari obat yang diberikan akibat hal ini dapat mengancam
nyawa.Abses, aksudat, kelenjar dan tumor juga menggangu distribusi obat,
antibiotika tidak dapat didistribusi dengan baik pada tempat abses dan eksudat.
Selain itu, beberapa obat dapat menumpuk dalam jaringan tertentu, seperti
lemak, tulang, hati, mata dan otot.
3.
Metabolisme Atau Biotransformasi
Hati merupakan tempat utama untuk metabolisme. Kebanyakan obat diinaktifkan
oleh enzim-enzim hati dan kemudian diubah menjadi metabolit inaktif atau zat
yang larut dalam air untuk diekskresikan. Tetapi, beberapa obat ditransformasikan
menjadi metabolit aktif, menyebabkan peningkatan respons farmakologik,
penyakit-penyakit hati, seperti sirosis dan hepatitis, mempengaruhi metabolisme
obat.
Waktu paruh, dilambangkan dengan t ½, dari suatu obat adalah waktu yang
dibutuhkan oleh separuh konsentrasi obat untuk dieliminasi, metabolisme dan
eliminasi mempengaruhi waktu paruh obat, contohnya, pada kelainan fungsi hati
atau ginjal, waktu paruh obat menjadi lebih panjang dan lebih sedikit obat
dimetabolisasi dan dieliminasi. Jika suatu obat diberikan terus – menerus, maka
dapat terjadi penumpukan obat.
Suatu obat akan melalui beberapa kali waktu paruh sebelum lebih dari 90%
obat itu dieliminasi. Jika seorang klien mendapat 650mg aspirin (miligram) dan
waktu paruhnya adalah 3jam, maka dibutuhkan 3jam untuk waktu paruh pertama
untuk mengeliminasi 325mg, dan waktu paruh kedua 9 atau 6jam untuk
mengeliminasi 162mg berikutnya, dan seterusnya sampai pada waktu paruh keenam
atau 18jam dimana tinggal 10mg aspirin terdapat dalam tubuh, waktu paruh selama
4-8jam dianggap singkat, dan 24jam atau lebih dianggap panjang. Jika obat
memiliki waktu paruh yang panjang (seperti digoksin: 36 jam), maka diperlukan
beberapa hari agar tubuh dapat mengeliminasi obat tersebut seluruhnya, waktu
paruh obat juga dibicarakan dalam bagian berikut mengenai farmakodinamik,
karena proses farmakodinamik berkaitan dengan kerja obat.
4. EkskresiAtau Eliminasi
Rute utama dari eliminasi obat adalah melalui ginjal, rute-rute lain
meliputi empedu, feses, paru- paru, saliva, keringat, dan air susu ibu. Obat
bebas yang tidak berkaitan dengan protein tidak dapat difiltrasi oleh ginjal.
Sekali obat dilepaskan bebas dan akhirnya akan diekskresikan melalui urin.
pH urin mempengaruhi ekskresi obat. pH urin bervariasi dari 4,5 sampai 8.
Urin yang asam meningkatkan eliminasi obat-obat yang bersifat basa lemah.
Aspirin, suatu asam lemah, diekskresi dengan cepat dalam urin yang basa. Jika
seseorang meminum aspirin dalam dosis berlebih, natrium bikarbonat dapat
diberikan untuk mengubah pH urin menjadi basa. Juice cranberry dalam jumlah
yang banyak dapat menurunkan pH urin, sehingga terbentuk urin yang asam.
C. Fase
Farmakodinamik
Farmakodinamik mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia
selular dan mekanisme kerja obat. Respons obat dapat menyebabkan efek fisiologi
primer atau sekunder atau kedua-duanya. Efek primer adalah efek yang
diinginkan, dan efek sekunder bisa diinginkan atau tidak diinginkan. Salah satu
contoh dari obat dengan efek primer dan sekunder adalah difenhidramin (benadryl)
suatu antihistamin. Efek primer dari difenhidramin adalah untuk mengatasi
gejala-gejala alergi, dan efek sekundernya adalah penekanan susunan saraf pusat
yang menyebabkan rasa kantuk. Efek sekunder ini tidak diinginkan jika sedang
mengendarai mobil, tetapi pada saat tidur, dapat menjadi diinginkan karena
menimbulkan sedasi ringan.